Sayap pertama: RainyDay

Teman dapat memberimu banyak hal, mengajarkanmu banyak arti namun yang terpenting siap mendengarkanmu saat kau ingin bercerita. Hanya sekedar bercerita… Bahkan ada yang mampu membawamu menuju dunia paralel dimana segala sesuatunya dapat terjadi dan menjadikan kata mustahil sebagai hal yang aneh.

Nobody knows who I really am
I never felt this empty before
And if I ever need someone to come along,
Who’s gonna comfort me, and keep me strong?

***
Aku mengendap masuk menuju kamar, berharap tidak ada seorangpun yang mendengarku pulang dan melontarkan bertubi-tubi pertanyaan padaku tentang wajahku yang sembab. Untunglah semua sudah terlelap dan aku tidak lupa membawa kunci serep.

“Mama, malam ini aku sangat lelah, lebih lelah dari kemarin,” gumanku. Tapi aku rasa dia merasakan hal yang sama mengingat yang terjadi belakangan dirumah.

Disaat seperti ini aku sangat iri dengan mereka yang kerap berkelana dengan sang waktu. Menilik banyak hal dimasa lalu untuk membawa banyak pelajaran ke masa sekarang dan merancang impian masa depan. Yap, impian, hal yang nampaknya sudah lama kulupakan.

Padahal sekitar dua tahun lalu masih kerap kuteriakkan bahwa tidak ada batas usia untuk mulai merancang impian, bahwa segala sesuatu adalah mungkin. Seperti halnya grafitasi yang menahan manusia untuk tidak jatuh meski sang bumi tidak berhenti berotasi.

Aku ingin kembali bisa merancang mimpi, merasakan passion saat mengerjakan sesuatu. Yang memberiku alasan untuk bangun dengan semangat baru setiap harinya. Apa sebenarnya yang membuatku lelah malam ini, insiden bersama dua temanku? Apa yang membuatku kecewa dalam perdebatan singkat itu?

Aku bisa mengabaikan apapun, pura-pura tidak mendengar banyak hal tetapi rasanya sulit ketika harus mengabaikan kata-kata miris yang terlontar dari mereka. Aku ingin belajar menyukai yang kulakukan. Aku ingin berkompromi tanpa menjadikannya mati rasa. Aku ingin kalian mendengarkan hal-hal yang tidak bisa kulontarkan diluar, yang kuucapkan cuma pada kalian.

“Yang ngerti isi otak loe, ya cuma elo sama Tuhan…” Padahal aku berharap kalian mau sedikit mengerti, tapi, ya sudahlah, meminta kalian untuk mengerti adalah berlebihan.

Far away, I’m breathing, as if I were transparent
It would seem I was in the dark, but I was only blindfolded

Dah hampir jam dua dini hari dan aku masih terjaga. Namun, rasanya masih sulit mengajak mata ini untuk terlelap. Saat ini rasanya aku berharap memoriku tidak bekerja dengan baik. Sial! semuanya masih terbayang jelas.“Seandainya aku tidak datang…seandainya aku tidak datang,” ujarku dalam hati.

Aku sangat berharap hujan turun semalam, membasahi wajahku, menyamarkan air mata yang tak hentinya mengalir. Sayangnya langit sangat cerah atau mungkin sang malam ingin mengajarkan ketegarannya.

Benar, seharusnya aku langsung saja meluncur pulang dan menikmati deretan film-film yang masih mengantri untuk kutonton. “Bodooh…” sesalku.

Dan untuk pertama kalinya aku berharap dapat mengembalikan sang waktu dan mengubah beberapa hal.

Sepanjang perjalanan pulang aku sangat berharap insiden di resto kecil itu tidak pernah terjadi. Perdebatan singkat dengan mereka yang ku harapkan bisa memahamiku telak menghantamku. Aku tidak berharap mereka bisa sepenuhnya mengerti perhelatan dalam benakku, tapi tidak bisakah mereka setidaknya mencoba memahamiku. Atau mungkin aku meminta terlalu banyak.

Tetapi bukankah aku tidak pernah berharap orang lain bisa memahamiku, kecuali kalian, teman. Yang kerap bertanya kenapa dan bukan apa. Yang kerap menantikan setiap perbincangan singkat antar kita. Yang kerap bersedia mendengarkan segala celoteh. Ataukah kalian sudah merasa jenuh atau mungkin sama lelahnya denganku malam ini.

I give a prayer as I wait for the new day
Shining vividly up to the edge of that sea

***

We are all rowing the boat of fate
The waves keep on coming and we can’t escape
But if we ever get lost on our way
The waves would guide you through another day

Tidak ada kebetulan, pertemuan kita adalah bagian dari alur-Nya. Aku senang kau mampir malam ini, meski dengan wajah sedih itu.

Leave a comment

eitch

write to simplify